Jumat, 25 Desember 2015

ASUHAN KEPERAWATAN PNEUMOTHORAKS



I.      LAPORAN PENDAHULUAN
A.    DEFINISI PNEUMOTORAK
Pneumotorak merupakan suatu keadaan dimana terdapat akumulasi udara ekstrapulmoner dalam rongga pleura, antara pleura visceral dan pariental, yang dapat menyebabkan timbulnya kolaps paru. Pada keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru leluasa mengembang, terhadap rongga dada.
Pneumotorak merupakan suatu keadaan terdapatnya udara di dalam rongga pleura.(Arif Muttaqin,2008)

B.     ETIOLOGI
1.      Infeksi saluran napas
2.      Adanya rupture ‘bleb’ pleura
3.      Traumatik misalnya pada luka tusuk
4.      Acute lung injury yang disebabkan materi fisik yang terinhalasi dan bahan kimia
5.      Penyakit inflamasi paru akut dan kronis (penyakit paru obstruktif kronik(PPOK), TB Paru, fibrosis paru, abses paru, kanker dan tumor metastase ke pleura.

C.    KLASIFIKASI PNEUMOTORAK
Pneumotorak dapat diklasifikasikan menjadi spontan dan traumatic.
1.    Traumatic dapat dibagi lagi menjadi :
a.         Pneumotorak iatrogonik
Terjadi karena akibat komplikasi tindakan medis dan jenis ini dibedakan menjadi dua yaitu:
1)        Pneumotorak traumatic iatrogonik aksedentil ini terjadi akibat tindakan medis karena kesalahan/komplikasi tindakan tersebut, misalnya pada tindakan parasentesis dada, biopsy pleura, biopsi transbronkial, biopsy/aspirasi paru perkutaneus.
2)        Pneumotorak traumatic iatrogonik artificial (delibarate) merupakan pneumotorak yang sengaja dilakukan dengan cara mengisi udara kedalam rongga pleura melalui jarum dengan suatu alat Maxwell box. Biasanya untuk terapi tuberkolusis (sebelum era antibiotic), atau untuk menilai permukaan paru.
b.        Pneumotorak non-iatrogenik (accidental)
2.    Pneumotoraks spontan dapat dibagi lagi menjadi primer (tanpa adanya penyakit yang mendasari) ataupun sekunder (komplikasi dari penyakit paru akut atau kronik).

D.    PATOFISIOLOGI
Patofisologi narasi :
Pneumotoraks dapat disebabkan oleh trauma dada yang dapat mengakibatkan kebocoran / tusukan / laserasi pleura viseral. Sehingga paru-paru kolaps sebagian / komplit berhubungan dengan udara / cairan masuk ke dalam ruang pleura. Volume di ruang pleura menjadi meningkat dan mengakibatkan peningkatan tekanan intra toraks. Jika peningkatan tekanan intra toraks terjadi, maka distress pernapasan dan gangguan pertukaran gas dan menimbulkan tekanan pada mediastinum yang dapat mencetuskan gangguan jantung dan sirkulasi sistemik.


Patofisiologi skema :

















E.     MANISFESTASI KLINIS
1.         Pasien mengeluh awitan mendadak nyeri dada pluritik akut yang terlokalisasi pada paru yang sakit
2.         Nyeri dada pluritik biasanya disertai sesak napas, peningkatan kerja pernapasan, dan dispnea
3.         Gerakan dinding dada mungkin tidak sama karena sisi yang sakit tidak mengembang seperti sisi yang sehat
4.         Suara napas yang jauh tidak ada
5.         Perkusi dada menghasilkan suara hipersonan
6.         Takikardia sering terjadi menyertai tipe pneumotoraks
7.         Tension pneumotorak
a.         Hipoksimia (Tanda awal)
b.        Ketakutan
c.         Gawat napas (takipenea berat)
d.        Peningkatan tekanan jalan napas puncak dan rerata, penurunan komplians, dan auto-tekanan ekspirasi akhir positif  (aotu-PEEP) pada pasien yang terpasang ventilasi mekanis
e.         Kolaps kardiovaskuler (frekuensi jantung >140kali/menit pada setiap hal berikut: sianosis perifer, hipotensi)

F.     PENATALAKSANAAN
Tatalaksana dari kelainan ini bergantung pada tipe, ukuran manisfestasi klinis, serta penyakit yang menyertai. Ukuran pneumotorak ditentukan berdasarkan jarak antara apeks paru dengan kubah ipsilateral rongga toraks, seperti yang terlihat pada rontgen toraks posisi tegak. Dikatakan pneumotoraks minimal bila jaraknya adalah < 3 cm dan besar bila jaraknya > 3 cm.
Pada kelainan yang minimal biasanya tidak membutuhkan adanya intervensi dan biasanya pasien cukup diobservasi kecuali menetapnya udara yang terkumpul. Tidak dibutuhkan adanya tindakan yang lebih jauh lagi bila pada pemeriksaan foto rontgen menunjukkan hasil yang sama dalam 24 jam. Pada pneumotorak yang luas, dibutuhkan tatalaksana rawat inap.
Tatalaksana dari kelainan ini termasuk evakuasi udara dari rongga pleura dan menutup kebocoran yang terjadi. Pada keadaan dimana udara yang terjebak memiliki volume yang cukup besar dan pasien mengalami kesulitan bernapas, dibutuhkan penusukan selang trakeostomi dan pemberian tekanan negatif dengan menggunakan suction (-20 cmH2O). Selang trakeostomi ditusukkan pada garis mid aksila sela iga 4-5. Paru harus mengalami ekspansi secara lambat karena ekspansi secara cepat akibat evakuasi udara yang terjebak, dapat menimbulkan komplikasi baru yaitu udem paru. Pada keadaan pneumotoraks yang cukup luas, akan lebih baik untuk tidak memberikan tekanan negatif secara terburu-buru namun sebaliknya membiarkan udara yang terjebak untuk keluar secara perlahan-lahan dan kemudian membaik secara spontan sebelun suction digunakan.
Suction dapat dipertahankan sampai tidak didapatkannya udara pada rongga toraks. Suction kemudian dapat dilepas namun selang WSD dapat dipertahankan. Jika pada pemantau  selama 24 jam, tidak ditemukan adanya udara lagi, maka selang dapat dilepas. Bila udara tetap ditemukan, maka hal tersebut merupakan tanda adanya kerusakan permukaan lapisan udara pleura, parenkim paru atau fistula bronkopleura yang membutuhkan tindakan operasi.

G.    DISCHARGE PLAINNING
1.         Biasakan konsumsi makanan yang banyak mengandung vitamin dan bergizi
2.         Istirahat yang cukup
3.         Berhenti merokok dan hindari kontaminasi asap rokok
4.         Berhenti minum alkohol
5.         Kenali tanda gejala penyakit kurangi stress
6.         Kontrol foto thoraks ulang setelah beberapa hari diperlukan untuk evaluasi
7.         Apabila selama 7 hari pengamatan masih terdapat pneumotoraks maka diperlukan tindakan aspirasi ataupun pemasangan WSD.

H.    KOMPLIKASI
Tension pneumotoraks dapat disebabkan oleh pernapasan mekanis dan hal ini mungkin mengancam jiwa. Pneumo - mediastinum dan emfisema subkutan dapat terjadi sebagai komplikasi dari pneumotoraks spontan. Jika pneumo - mediastinum terdeteksi maka harus dianggap terdapat ruptur esophagus / bronkus.



II.         ASUHAN KEPERAWATAN PNEUMOTORAK
A.       PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1.      Anamnesis
Identitas klien yang harus diketahui perawat meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan, dan pekerjaan klien/asuransi kesehatan.
Keluhan utama meliputi sesak napas , bernapas terasa berat pada dada, dan keluhan susah untuk melakukan pernapasan.
a)                  Riwayat Penyakit Saat Ini
Keluhan sesak napas sering kali datang mendadak dan semakin lama semakin berat. Nyeri dada dirasakan pada sisi yang sakit, rasa berat, tertekan, dan terasa lebih nyeri pada gerakan pernapasan. Selanjutnya dikaji apakah ada riwayat trauma yang mengenai rongga dada seperti peluru yang menembus dada dan paru. Ledakan yang menyebabkan peningkatan tekanan udara dan terjadi tekanan di dada yang mendadak menyebabkan tekanan dalam paru meningkat. Kecelakaan lalu lintas biasanya menyebabkan trauma tumpul di dada atau tusukan benda tajam langsung menembus pleura.
b)                  Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan apakah klien pernah menderita penyakit seperti TB paru di mana sering terjadi pada pneumotoraks spontan.
c)                  Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit-penyakit yang mungkin menyebabkan pneumotorak seperti kanker paru,asma, TB paru dan lain-lain.

d)                 Pengkajian Psikososial
Pengkajian psikososial meliputi perasaan klien terhadap  penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya, serta bagaimana perilaku klien pada tindakan yan dilakukan terhadap dirinya.

2.      Pemeriksaan Fisik
B1(Breathing)
·         Inspeksi : Peningkatan usaha frekuensi pernapasan, serta penggunaan otot bantu pernpasan. Gerakan pernapasan ekspansi dada yang asimetris (pergerakan dada tertinggal pada sisi yang sakit), iga melebar, rongga dada asimetris (cembung pada sisi yang sakit). Pengkajian batuk yang produktif dengan sputum purulen. Trakhea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat.
·         Palpasi        : Taktil Fremitus menurun pada sisi yang sakit. Di samping itu, pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang sakit. Pada sisi yang sakit, ruang antar-iga bisa saja normal atau melebar.
·         Perkusi        : Suara ketok pada sisi yang sakit, hipersonor sampai timpani, dan tidak bergetar. Batas jantung terdorong ke arah thoraks yang sehat, apabila tekanan intrapleura tinggi.
·         Auskultasi   : Suara napas menurun sampai menghilang pada sisi yang sakit. Pada posisi duduk, semakin ke atas letak cairan maka akan semakin tipis, sehingga suara napas terdengar amforis, bila ada fistel brongkhopleura yang cukup besar pada pneumotoraks terbuka.

B2 (Blood)
Perawat perlu memonitor pneumotoraks pada status kardiovaskular yang meliputi keadaan hemodinamik seperti nadi, tekanan darah, dan pengisian kapiler darah.

B2 (Brain)
Pada inspeksi, tingkat kesadaraan perlu dikaji. Selain itu, diperlukan juga pemeriksaan GCS. Apakah compos mentis, somnolen atau koma.

B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan. Oleh kaarena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria. Oliguria merupakan tanda awal dari syok.

B5 (Bowel)
Akibat sesak napas, klien biasanya mengalami mual dan muntah, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.

B6 (Bone)
Pada trauma di rusuk dada, sering kali didapatkan adanya kerusakan otot dan jaringan lunak dada sehingga meningkatkan resiko infeksi. Klien sering dijumpai mengalami gangguan dalam memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-hari disebabkan adanya sesak napas, kelemahan dan keletihan fisik secara umum.

3.      Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Radiologi : Gambaran radiologis pneumotoraks akan tampak hitam, rata dan paru yang kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi paru.

B.     DIAGNOSIS KEPERAWATAM
1.      Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap peningkatan tekanan dalam rongga pleura
2.      Resiko tinggi trauma pernapasan yang berhubungan dengan pemasangan WSD

C.    INTERVENSI KEPERAWATAN
Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan menurunnya ekspensi paru sekunder terhadap peningkatan tekanan dalam rongga pleura.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan intervensi pola pernapasan klien kembali efektif.
Kriteria evaluasi :
Irama, frekuensi, dan kedalaman pernapasan berada dalam batas normal, pada pemeriksaan Rontgen thoraks terlihat adanya pengembangan dan paru, bunyi napas terdengar jelas.
Rencana Intervensi
Rasional
Identifikasi faktor penyebab kolaps spontan, trauma keganasan, infeksi komplikasi mekanik pernapasan
Memahami penyebab dari kolaps paru sangat penting untuk mempersiapkan WSD pada pneumotorak dan menentukan untuk intervensi lainnya.
Kaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman pernpasan, laporkan setiap perubahan yang terjadi.
Dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernpasan, kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan kondisi pasien.
Baringkan klien dalam posisi yang nyaman, atau dalam posisi duduk.
Penurunan difragma memperluas daerah dada sehingga ekspansi paru bisa maksimal
Observasi tanda-tanda vital (nadi,RR)
Peningkatan RR dan takikardi merupakan indikasi adanya penurunan fungsi paru
Lakukan auskultasi suara tiap 2-4 jam
Auskultasi dapat menentukan kelainan suara napas pada bagian paru, kemungkinan akibat dari berkurangnya atau tidak berfungsinya lobus,segmen dan salah satu dari paru.
Pada daerah kolaps paru suara pernapasan tidak terdengar tetapi bila hanya sebagian yang kolaps suara pernapasan tidak terdengar dengan jelas. Hal tersebut dapat menentukan fungsi paru yang baik dan ada tidaknya atelektasis paru.
Bantu dan ajarkan klien untuk batuk dan napas dalam yang efektif.
Menekan daerah yang nyeri ketika batuk atau napas dalam. Penekanan otot-otot dada serta abdomen membuat batuk lebih efektif.
Kolaborasi untuk tindakan dekompresi dengan pemasangan WSD
Dengan WSD memungkinkan udara keluar dari rongga pleura dan mempertahankan agar paru tetap mengembang dengan jalan mempertahankan tekanan negatif.


Resiko tinggi trauma pernapasan yang berhubungan dengan pemasangan WSD.
Tujuan: Dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan intervensi resiko trauma pernapasan tidak terjadi
Kriteria evaluasi:
Irama, Frekuensi, dan kedalaman pernapasan dalam batas normal, pada pemeriksaan Rontgen thoraks terlihat adanya pengembangan paru, bunyi nafas terdengar jelas.

Rencana Intervensi
Rasional
Kaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman pernapasan, laporkan setiap perubahan yang terjadi.
Dengan mengkaji kualitas, frekuensi, dan keadaaan pernapasan, kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan kondisi klien.
Observasi tanda-tanda vital (nadi, RR)
Peningkatan RR dan Takikardi merupakan indikasi adanya penurunan fungsi paru.
Baringkan klien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi duduk
Posisi setengah duduk atau duduk dapat mengurangi risiko pipa/selang WSD terjepit.
Perhatikan undulasi pada selang WSD
Undulasi (pergerakan cairan di selang dan adanya gelembung udara yang keluar dari air dalam botol WSD) merupakan indikator bahwa drainase selang dalam keadaan optimal.  Bila undulasi tidak ada, ini mempunyai makna yang sangat penting karena beberapa kondisi dapat terjadi, antara lain.
·         Motor suction tidak berjalan.
·         Selang tersumbat atau terlipat.
·         Paru telah mengembang.
Oleh karena itu, perawat harus yakin apa yang menjadi penyebab, segera diperiksa kondisi sistem drainase, dan amati tanda-tanda kesulitan bernapas.
Anjurkan klien untuk memegang selang apabila akan mengubah posisi
Menghindari tarikan spontan pada selang yang mempunyai risiko tercabutnya selang dari rongga dada.
Beri tanda pada batas cairan setiap hari, catat tanggal dan waktu.
Tanda atau batas pada botol dpat menjadi indikator dan bahan monitor terhadap keadaan drainase WSD.
Botol WSD harus selalu lebih rendah dari tubuh.
Gravitasi. Udara dan cairan mengalir dari tekanan yang tinggi ke tekanan yang rendah.
Beri penjelasan pada klien tentang perawatan WSD.
Meningkatkan sikap kooperatif klien dan mengrangi resiko trauma pernapasan.
Bantu dan ajarkan klien untuk melakukan batuk dan napas yang efektif.
Menekan daerah yang nyeri ketika batuk atau nafas dalam. Penekanan otot-otot dada serta abdomen membuat batuk lebh efktif.

Referensi :
Nurarif,Amin Huda. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: Mediaction
Muttaqin Arif. 2008. Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem pernapasan. Jakarta: Salemba Medika