Selasa, 22 Desember 2015

Trauma Medula Spinalis



A.   KONSEP DASAR MEDIS
1.      DEFINISI
Medula spinalis (spinal cord) merupakan bagian susunan saraf pusat yang terletak di dalam kanalis vertebralis dan menjulur dari foramen magnum ke bagian atas region lumbalis. Trauma pada medula spinalis dapat bervariasi dari trauma ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara mendadak sampai yang menyebabkan transeksi lengkap dari medula spinalis dengan quadriplegia.
Trauma pada tulang belakang adalah cedera mengenai servikalis, vertebralis dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang. Chiruddin Rasjad (1998) menegaskan bahwa semua trauma tulang belakang harus dianggap suatu trauma yang hebat, sehingga sejak awal pertolongan pertama dan transportasi ke rumah sakit penderita harus diperlakukan secara hati-hati. Trauma pada tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang, yaitu ligamen dan diskus, tulang belakang sendiri, dan sumsum tulang belakang (spinal cord).
Sebagian besar trauma tulang belakang yang mengenai tulang tidak disertai kelainan pada medula spinalis (80%) dan hanya sebagian (20%) yang disertai kelainan pada medula spinalis.
Penyebab cedera medula spinalis akibat trauma langsung yang mengenai tulang belakang dan melampaui batas kemampuan tulang belakang dalam melindungi saraf-saraf yang berada di dalamnya. Trauma tersebut meliputi kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, kecelakaan industri, atau kecelakaan lain seperti jatuh dari pohon atau bangunan, luka tusuk, luka tembak, dan kejatuhan benda keras.
Beberapa yang berhubungan dengan trauma medula spinalis seperti :
a)      Quadriplegia adalah keadaan paralisis/kelumpuhan pada ekstermitas dan terjadi akibat trauma pada segmen thorakal 1 (T1) keatas. Kerusakan pada level akan merusak sistim syaraf otonom khsusnya syaraf simpatis misalnya adanya gangguan pernapasan.
b)      Komplit Quadriplegia adalah gambaran dari hilangnya fungsi modula karena kerusakan diatas segmen serfikal 6 (C6).
c)      Inkomplit  Quadriplegia adalah hilangnya fungsi neurologi karena kerusakan dibawah segmen serfikan 6 (C6).
d)     Refpiratorik Quadriplegia (pentaplagia) adalah kerusakan yang terjadi pada serfikal pada bagian atas (C1-C4) sehingga terjadi gangguan pernapasan

2.      ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO TRAUMA MEDULA SPINALIS
Adapun etiologi dan factor resiko terjadinya trauma medulla spinalis adalah :
a)      mengkonsumsi alcohol
b)      mengkonsumsi obat-obatan saat mengendarai mobil atau sepeda motor.
Sedangkan cedara modulas spinalis dikelompokan akibat trauma dan non trauma misalnya :
a)      kecelakaan lalu lintas
b)      terjatuh
c)      kegiatan olahraga
d)     luka tusuk atau tembak
Adapun non trauma sebagai berikut :
a)      spondilitis serfikal
b)      ruang miolopati
c)      myelitis
d)     osteoporosis
e)      tumor.

3.      PATOFISIOLOGI
Trauma medula spinalis paling sering terjadi pada daerah torakal atau pada daerah batas torakal dan lumbal, lebih jarang pada daerah servikal ataupun daerah lumbal.





 
4.      KLASIFIKASI
a.       Cedera Tulang
1)      Stabil. Bila kemampuan fragmen tulang tidak memengaruhi kemampuan untuk bergeser lebih jauh selain yang terjadi saat cedera. Komponen arkus neural intak serta ligamen yang menghubungkan ruas tulang belakang, terutama ligamen longitudinal posterior tidak robek. Cedera stabil disebabkan oleh tenaga fleksi, ekstensi dan kompresi yang sederhana terhadap kolumna tulang belakang dan paling sering tampak pada daerah toraks bawah serta lumbal (fraktur baji badan ruas tulang belakang sering disebabkan oleh fleksi akut pada tulang belakang).
2)      Tidak stabil. Fraktur memengaruhi kemampuan untuk bergeser lebih jauh. Hal ini disebabkan oleh adanya elemen rotasi terhadap cedera fleksi atau ekstensi yang cukup untuk merobek ligamen longitudinal posterior serta merusak keutuhan arkus neural baik akibat fraktur pada fedekel dan lamina, maupun akibat dislokasi sendi apofiseal.
b.      Cedera Neurologis
1)      Tanpa defisit neurologis
2)      Disertai defisit neurologis, dapat terjadi di daerah punggung karena kanal spiral terkecil terdapat di daerah ini.

5.      GEJALA KLINIS
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi. Kerusakan meningitis; lintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai shock spinal. Shock spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat .peristiwa ini umumnya berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama. Tandanya adalah kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi rectum dan kandung kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi. Setelah shock spinal pulih kembali, akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan fungsi otonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi.
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu.
Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan. Keadaan ini pada umumnnya terjadi  akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehingga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat. Cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul barang berat diatas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh dan tulang belakang sekonyong-konyong dihiper ekstensi. Gambaran klinik berupa tetraparese parsial. Gangguan pada ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas bawah sedangkan daerah perianal tidak terganggu.
Kerusaka tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan anaestesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan refleks bulbokafernosa.

6.      PENATALAKSANAAN
Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang ditujukan pada usaha mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder. Untuk maksud tersebut dilakukan immobilisasi ditempat kejadian dengan memanfaatkan alas yang keras. Pengangkutan penderita tidak dibenarkan tanpa menggunakan tandu atau sarana papun yang beralas keras. Selalu harus diperhatikan jalan nafas dan sirkulasi, bila dicurigai cedera didaerah servikal harus diusahakan agar kepala tidak menunduk dan tetap ditengah dengan menggunakan bantal kecil untuk menyangga leher pada saat pengangkutan.
Perawatan penderita memegang peranan penting untuk mencegah timbulnya penyakit. Perawatan ditujukan pada pencegahan :
  • Kulit : agar tidak timbul dekubitus karena daerah yang anaestesi.
  • Anggota gerak : agar tiadak timbul kontraktur.
  • Traktus urinarius : menjamin pengeluaran air kemih.
  • Traktus digestivus : menjamin kelancaran bab.
  • Traktus respiratorius : apabila yang terkena daerah servikal sehingga terjadi pentaplegi.
KULIT
Perawatan posisi berganti dapat mencegah timbulnya decubitus yaitu dengan cara miring kanan kiri telentang dan telungkup.
ANGGOTA GERAK
Karena kelainan saraf maka timbul pula posisi sendi akibat inbalance kekuatan otot. Pencegahan ditujukan terhadap timbulnya kontraktur sendi dengan melakukan fisioterapi, latihan dan pergerakan sendi serta meletakkan anggota dalam posisi netral.
TRAKTUS URINARIUS
Untuk ini perlu apakah gangguan saraf menimbulkan gejala UMN dan LMN terhadap buli-buli, karenanya maka kateterisasi perlu dikerjakan dengan baik , agar tidak menimbulkan infeksi.
TRAKTUS DIGESTIVUS
Menjamin kelancaran defekasi dapat dikerjkaka secara manual .
TRAKTUS RESPIRATORIUS
Apabila lesi cukup tinggi (daerah servikal dimana terdapat pula kelumpuhan pernapasan pentaplegia), maka resusitasi dan kontrol resprasion diperlukan.

7.      KOMPLIKASI
Adapun komplikasinya adalah sebagai berikut :
·         Neurogenik shock
·         Hipoksia
·         Gangguan paru-paru
·         Instabilitas spinal
·         Orthostatic hypotensi
·         Ileus paralitik
·         Infeksi saluran kemih
·         Kontraktur
·         Dekubitus
·         Inkontinensia bladder
·         Konstipasi

8.      TEST DIAGNOSTIK
a.       Foto rongcen : adanya fraktur vertebrata.
b.      CT Scan : adanya edema medula spinalis
c.       MRI : kemungkinan adanya kompresi, edema medula spinalis
d.      Serum kimia : adanya hiperglikemia atau hipoglikemia ketidak seimbangan elektrolit, kemungkinan menurunnya Hb dan hemotoktrit.
e.       Urodinamik : proses pengosongan bladder.




B.   KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN MEDULA SPINALIS

1.      PENGKAJIAN
a.       Riwayat keperawatan : trauma; tumor, masalah medis yang lain (misalnya, kelainan paru, kelainan koogulasi, ulkus ); merokok dan penggunaan alcohol.
b.      Pemeriksaan fisik : fungsi motorik ( pergerakan, kekuatan, tonus): funngsi sensorik; reflex : status pernapasan; gejala gejala spinal syok; tidak adanya keringat di batas luka; fungsi  bowel dan bldder; gejala autonomic dysreflexia.
c.       Psikososial : usia, jenis kelamin, gaya hidup, pekerjaan, peran dan tanggung jawab, sistim dukungan, strategi koping, reaksi emosi terhadap cidera.
d.      Pengetahuan klien dan keluarga : anatomi dan fisiolgi medula spinalis : pengobatan, progonosis/ tujuan yang di harapkan tingkat pengetahuan, kemampuan belajar dan pengetahuan, kemampuan membaca dan kesiapan beljar.

2.      DIAGNOSIS KEPERAWATAN
a.       Tidak efektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan ketiadak efektifan reflex batuk, imobilisasi.
b.      Pola napas tidak efektif berhubungan dengan paralisis otot pernapasan.
c.       Menurunnya cardia output berhubungan dengan hilangnya tonus vaso motor.
d.      Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan kompersi, kontusio dan edema.
e.       Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan tidak stabilnya spinal, deficit neurologic (qudrikplegia/ paraplegia).
f.       Gangguan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi, deficit sensasi/ motorik, gangguan sirkulasi, penggunaan traksi.
g.      Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan ketidakmampuan mengontrol spinter untuk berkemih.
h.      Gangguan eiminasi bowel berhubungan dengan menurunnya control spinter bowel, imobilisasi.

3.      INTERVENSI KEPERAWATAN
a.       Tidak efektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan ketiadak efektifan reflex batuk, imobilisasi
INTERVENSI
RASIONAL
Kaji kemampuan batuk klien dan produksi secret
Hilangnya kemampuan motorik otot interkosta dan abdomen berpengaruh terhadap kemampuan batuk
Pertahankan jalan napas (hindari  fleksi leher, bersikan secret)
Menutup jalan napas
Monitor warna, jumlah dan konsistensi secret, lakukan kultur
Hilangnya reflex batuk beresiko menimbulkan pneumonia
Lakukan suction jika perlu
Pengambilan secret dan menghindari aspirasi
Auskultasi bunyi napas
Mendeteksi adanya secret dalam paru paru   
Lakukan latihan napas
Mengembangkan alveoli dan menurunkan produksi secret
Berikan minum hangat jika ridak kontra indikasi
Mengencerkan secret
Berikan oksigen dan monitor analisa gas darah
Meningkatkan suplai oksigen dan mengetahui kadar oksigen dalam darah
Monitor tanda vital setiap 2 jam dan status neurologi
Mendeteksi adanya infeksi dan status respirasi lebih dini

b.      Pola napas tidak efektif berhubungan dengan paralisis otot pernapasan
INTERVENSI
RASIONAL
Auskultasi bunyi  napas setiap 2 jam
Mengetahui adanya kelainan paru paru
Suction jika perlu
Membersihkan secret dan membuka jalan napas
Berikan oksigen 100% selama 1 menit sebelum dan sesudah suction
Mencegah hipoksemia
Pertahankan kepatenan jalan napas
Pemasangan intubasi atau trakeostomi jika memang di butuhkan
Monitor ventilator jika pasien di pasang
Mengukur tidal volume konsentrasi oksigen
Monitor dan analisa gas darah
Mengetahui keseimbangan gas darah dan memonitor adekuatnya ventilasi
Monitor tanda vital selama 2 jam
Mendeteksi perubahan tand vital lebih awal
Lakukan posisi semivouler, jika tidak ada kontra indikasi
Memungkinkan pengembangan paru lebih optimal
Hindari obat obatan sedative jika memungkinkan
Menghindari efek depresi pernapasan

c.       MenuruNnya cardia output berhubungan dengan hilangnya tonus vaso motor
INTERVENSI
RASIONAL
Lakukan perubahan posisi dengan pelan pelan
Menurunnya postural hipotensi
Kaji fungsi kardiovaskuler dan cegah spinal schok
Cedera ( T 6 ke atas) kemungkinan terjadi spinal shock dengan hilangnya reflex autonom sehingga berpengaruh terhadap kerja jantung, temperature tubuh
Monitor secara berkala postural hipotensi, bradikardia, distrimia, menurunnya output urine, monitor tekanan darah
Mengkaji kardia output
Laksanakan program atropine misalnya atropine
Untuk efek bradikardia
Lakukan ROM setiap 2 jam
Mencegah emboli vena dan mempertahankan gerak sendi

d.      Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan kompersi, kontusio dan edema
INTERVENSI
RASIONAL
Lakukan pengkajian neurologic setiap 4 jam
Monitor perubahan status neurologi dan mendeteksi perkembangan trauma spinal
Pertahankan traksi skeletal
Sebagai penyangga dan menjaga kerusakan spinal
Jaga posisi tubuh dengan kepala dan tumbuh lurus, hindari maneuver
Mencegah tarauma medulla spinalis
Berikan pengobatan sesuai program seperti steroid, vitamin k, antacid
Steroid dapat mengontrol edema, vitamin k dapat menghentikan pendarahan, antacid sebagai anti ulcer
Ukur intake dan output setiap jam, catat output urine kurang dari 30 ml/ jam
Monitor fungsi ginjal dan volume cairan

e.       Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan tidak stabilnya spinal, deficit neurologic (qudrikplegia/ paraplegia)

INTERVENSI
RASIONAL
Kaji fungsi sensori dan motorik klien setiap 4 jam
Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien dalam pergerakan

Ganti posis klien tiap 2 jam dengan memperhatikan kestabilan tubuh dan kenyamanan pasien

Mencegah terjadinya footdrop
Gunakan alat ortopedrik, colar, handspilts
Mencegah kontraktur
Lakukan ROM pasif setelah 48-72 jam setelah cedera 4-5 kali / hari
Meningkatkan sirkulasi dan mencegah kontraktur
Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien
Menunjukakan adanya aktivitas yang berlebihan
Konsultasikan kepada fisioterapi untuk latihan dan penggunaan  alat seperti spilints
Memberikan penangan yang sesuai

f.       Gangguan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi, deficit sensasi/ motorik, gangguan sirkulasi, penggunaan traksi.
INTERVENSI
RASIONALISASI
Kaji factor resiko terjadinya gangguan integritas kulit
Factor yang mempengaruhi  gangguan integrritas kulit adalah imobilisasi, hilangnya sensasi, inkontinensia bladder/ bowel.
Kaji keadaan kulit pasien setiap 8 jam
Mencegah lebih dini terjadinya dekubitus
Gunakan tempat tidur khusus (dengan busa)
Mengurangi tahanan / tekanan sehingga mengurangi resiko dekubitus
Ganti posisi setiap 2 jam dengan sikap anatomis
Daerah tekanan akan menimbulkan hipoksia, perubahan posisi meningkatkan sirkulasi darah
Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat tidur dan tidur pasien
Lingkungan yang lembab dan kotor mempermudah terjadinya kerusakan kulit
Lakukan pemijatan lembut di atas daerah tulang yang menonjol swetiap 2 jam dengan gerakan memutar
Meningkatkan sirkulasi darah
Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan tinggi protein
Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan
Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari
Mempercepat proses penyembuhan


g.      Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan ketidak mampuan mengontrol spinter untuk berkemih

INTERVENSI
RASIONALISASI
Kaji tanda infeksi saluran kemih
Efek dari tidak efektifnya bladder adalah adanya infeksi saluran kemih
Kaji intake dan output cairan
Mengetahui adekuatnya fungsi ginjal dan efektifnya bledder
Lanjutkan pemasangan kateter sesuai program
Efek trauma medulla spinalis adanya gangguan reflex berkemih sehinggah perlu bantuan dalam pengeluaran urine
Anjurkan pasien untuk minum 2-3 liter setiap hari
Mencegah urine lebih pekat  yang berakibat timbulnya batu
Cek bledder pasien setiap 2 jam.
Mengetahui adanya residu sebagai akibat autonomic hyperfleksia.
Lakukan pemerikasaan urinalisa, kultur dan sensibilitas
Mengetahui adanya infeksi
Monitor temperature tubuh setiap 8 jam
Temperature yang meningkat inddikasi adanya infeksi


h.      Gangguan eiminasi bowel berhubungan dengan menurunnya control   spinter bowel, imobilisasi
INTERVENSI
RASIONALISASI
Kaji pola eliminasi bowel
Menentukan adanya  perubahan eliminasi
Berikan diet tinggi serat
Serat meningkatkan konsistensi fases
Berikan minum 1800-2000 ml/ hari jika tidak kontra indikasi
Mencegah konstipasi
Auskultasi bising usus, kaji adanya distensi abdomen
Bising usus menentukan pergerakan peristaltic
Hindari pengguanaan laksativ oral
Kebiasaan menggunakan laksativ akan terjadi ketergantungan
Lakukan mobilisasi jika memungkinkan
Meningkatkan pergerakan peristaltic
Berikan suppositeria sesuai program
Pelunak fases sehingga memudahkan eliminasi
Evaluasi dan catat adanya perdarahan pada saat eliminasi
Kemungkinan perdarahanakibat iritasi penggunaansupositoria


DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika
Batticaca, Fransisca, B. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika

1 komentar:

  1. Pin on Tintin | TitaniumBand Rings
    Tintin is titanium nose rings the perfect ring for anyone looking for a cool mens black titanium wedding bands looking band with its silicone dab rig with titanium nail distinctive sound! titanium wedding band · Tintin was founded in 2004 and is mens titanium necklace an innovative band

    BalasHapus